KERAJAAN SIAK SRI INDERA PURA
LOKASI :
kerajaan SIAK SRI INDERA PURA berlokasi di KABUPATEN SIAK, dimana istana sultan berada.
dan bila kita dari pekanbaru kita boleh mencapainya dalam tiga jam perjalanan dengan mobil pribadi.
dan kerajaan siak ini memiliki banyak sungai yang melaluinya, salah satu sungai terbesarnya adalah SUNGAI SIAK, adapun sungai - sungai itu antara lain :
Sungai Mandau, Sungai Gasib, Sungai Apit, Sungai Tengah, Sungai Rawa,
Sungai Buantan, Sungai Limau, dan Sungai Bayam.
Sedangkan danau-danau
yang tersebar di daerah ini adalah: Danau Ketialau, Danau Air Hitam,
Danau Besi, Danau Tembatu Sonsang, Danau Pulau Besar, Danau Zamrud,
Danau Pulau Bawah, Danau Pulau Atas dan Tasik Rawa.
GEOGRAFIS
keadaan tanah dan bumi di kerajaan siak adalah berupa dataran rendah dan sedikit dataran tinggi di sebelah barat.
Bentang alam Kabupaten Siak sebagian besar terdiri dari dataran rendah
di bagian Timur dan sebagian dataran tinggi di sebelah barat. Pada
umumnya struktur tanah terdiri dan tanah podsolik merah kuning dan
batuan dan alluvial serta tanah organosol dan gley humus dalam bentuk
rawa-rawa atau tanah basah. Lahan semacam ini subur untuk pengembangan pertanian dan perkebunan.
SEJARAH dan RAJA RAJA SIAK
RAJA KECIK
pendiri kerajaan siak sri indera pura adalah RAJA KECIL atau RAJA KACIAK atau RAJA KECIK. yang ber asal dari pagaruyung.
beliau juga di kenal dengan gelaran nama :
Sultan Abdul Jalil Syah atau
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I.
ia merupakan saduara dari yang di pertuan agung raja pagaruyung yang bernama :
Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Indermasyah,
siapa SULTAN ABDUL JALIL ini :
Pada tahun 1716, Sultan Abdul Jalil diutus oleh
Sultan Indermasyah untuk mewakili dirinya dalam menyelesaikan kesepakatan dagang dengan pihak
VOC, pada awalnya pihak
Belanda menolaknya, namun kemudian kembali datang surat dari
Yang Dipertuan Pagaruyung, yang menegaskan status dari pada Sultan Abdul Jalil tersebut.
[1]
Dalam
Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di
Bengkalis, sekaligus melepaskan Siak dari pengaruh
Johor. Berdasarkan
Hikayat Siak,
Raja Kecil merupakan putra dari
Sultan Mahmud,
Sultan Johor yang terbunuh. Dari suratnya kepada VOC,
Raja Kecil dari
Pagaruyung,
memberitahukan bahwa ia akan menuntut balas atas peristiwa terbunuhnya
Sultan Mahmud. Pada tahun 1717 Raja Kecil berhasil menguasai
Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor, dengan gelar
Yang Dipertuan Besar Johor,
namun pada tahun 1722 karena pengkianatan beberapa bangsawan Johor, ia
tersingkir dan kemudian pindah ke Siak dan menjadikan kawasan tersebut
sebagai pusat pemerintahannya tahun 1723.
Sebelumnya dari catatan Belanda, juga mencatat pada tahun 1674, ada datang utusan dari Johor untuk mencari bantuan bagi raja
Minangkabau berperang melawan raja Jambi. Kemudian berdasarkan surat dari Raja
Jambi,
Sultan Ingalaga
kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil dari
Pagaruyung, hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka.
[2]
Pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan
Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di
Bintan bahkan pada tahun 1740-1745 menaklukan beberapa kawasan di
Kedah. Sultan Abdul Jalil Syah mangkat pada tahun 1746 dan dimakamkan di Buantan kemudian digelari dengan
Marhum Buantan. Kemudian kedudukannya digantikan oleh putranya, yang bernama Sultan Mahmud.
Yang Dipertuan Besar Mahmud Syah atau
Sultan Mahmud Abdul Jalil Syah dari
Siak Sri Inderapura, Dalam
Syair Perang Siak, sepeninggal Raja Kecil, kedudukannya digantikan oleh Raja Mahmud untuk menjadi penguasa Siak selanjutnya.
[1] Peralihan kekuasaan ini diperkirakan sekitar tahun 1746, Raja Mahmud kemudian memerintah sampai tahun 1761.
Yang Dipertuan Besar Ismail Syah atau
Sultan Ismail Abdul Jalil Syah dari
Siak Sri Inderapura, merupakan putra dari
Raja Mahmud,
Yang Dipertuan Besar Siak.
Sepeninggal Raja Mahmud,
Kesultanan Siak Sri Inderapura
diperebutkan oleh Raja Ismail dan Raja Muhammad Ali. Karena dukungan
Belanda, suksesi ini dimenangi oleh Raja Muhammad Ali. Kemudian Raja
Ismail memilih untuk berkelana di lautan.
[1] Pada tahun 1761, Raja Ismail pergi ke Siantan dan disini ia memperoleh dukungan dari
Orang Laut. Setelah memiliki kekuatan serta dukungan Orang Laut, ia mengontrol perdagangan timah di
Pulau Bangka dan menyerang
Kesultanan Mempawah di
Kalimantan Barat.
Pada tahun 1779 Raja Ismail mengambil alih kedudukan
Yang Dipertuan Besar Siak dari sepupunya Raja Muhammad Ali.
[2] Ia berkuasa hingga tahun 1781 sebelum akhirnya digantikan oleh
Sultan Yahya.
Yang Dipertuan Besar Yahya Syah atau
Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah dari
Siak Sri Inderapura, merupakan putra dari
Raja Ismail,
Yang Dipertuan Besar Siak.
[1]
Raja Yahya meninggal dunia pada tahun 1791 dan dimakamkan di Tanjung Pati (Che Lijah, Dungun,
Terengganu,
Malaysia).
Yang Dipertuan Besar Sayyid Ali Syah atau
Sultan Sayyid Ali Abdul Jalil Saifuddin dari
Siak Sri Inderapura, merupakan keponakan dari
Raja Ismail,
Yang Dipertuan Besar Siak.
[1]
Raja Sayyid Ali merupakan putra dari Sayyid Osman al-Syaikh 'Ali Ba' Alawi, yang menikahi cucu perempuan
Raja Kecil.
Yang Dipertuan Besar Sayyid Ibrahim Syah atau
Sultan Sayyid Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin dari
Siak Sri Inderapura, merupakan putra dari
Raja Sayyid Ali,
Yang Dipertuan Besar Siak.
[1]
Yang Dipertuan Besar Sayyid Ismail Syah atau
Mangkubumi Sayyid al-Syarif Jalaluddin 'Ali Ba' Alawi[1] dari
Siak Sri Inderapura, merupakan kemenakan dari
Raja Sayyid Ibrahim,
Yang Dipertuan Besar Siak.
[2]
Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim I, atau sultan syarif hashim
adalah raja di siak setelah yang di pertuan besar sayyid ismail syah, pada masa ini pergolakan antara VOC Belanda dengan pagaruyung tengah memuncak, dan merembet ke kerajaan siak, sehingga masa pemerintahannya sangat singkat, dan ia kemudian di gantikan oleh anaknya sultan syarif kasim II
Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin[1] atau
Sultan Syarif Kasim II (lahir di
Siak Sri Indrapura,
Riau,
1 Desember 1893 – meninggal di
Rumbai,
Pekanbaru,
Riau,
23 April 1968 pada umur 74 tahun) adalah
sultan ke-12
Kesultanan Siak. Ia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya
Sultan Syarif Hasyim. Sultan Syarif Kasim II merupakan seorang pendukung perjuangan kemerdekaan
Indonesia.
Tidak lama setelah proklamasi dia menyatakan Kesultanan Siak sebagai
bagian wilayah Indonesia, dan dia menyumbang harta kekayaannya sejumlah
13 juta gulden untuk pemerintah republik (setara dengan 151 juta gulden
atau € 69 juta Euro pada tahun 2011)
[2] . Bersama Sultan
Serdang dia juga berusaha membujuk raja-raja di Sumatera Timur lainnya untuk turut memihak republik. Namanya kini diabadikan untuk
Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II di
Pekanbaru.
ARTI NAMA SIAK
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna
pusat kota raja yang taat beragama, dalam bahasa
Sanskerta,
sri berarti "bercahaya" dan
indera atau
indra dapat bermakna raja. Sedangkan
pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan".
Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama
Islam,
Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai
Orang Siak.
Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara
Pakistan dan
India,
Sihag atau
Asiagh yang bermaksud
pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa
Asii, masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat
Romawi, dan diidentifikasikan sebagai
Sakai oleh
Strabo seorang penulis geografi dari
Yunani. Berkaitan dengan ini pada sehiliran
Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai
Orang Sakai
SEJARAH
Dengan klaim sebagai pewaris
Malaka,
[4] pada tahun 1724-1726
Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan
Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak dan kemudian membangun pertahanan armada laut di
Bintan. Namun pada tahun 1728, atas perintah Raja Sulaiman,
Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, Raja Kecil diusir keluar dari Kepulauan Riau. Raja Sulaiman kemudian menjadikan
Bintan sebagai pusat pemerintahannya. Atas keberhasilannya itu, Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di
Pulau Penyengat.
[24]
Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya di Kepulauan Riau
dan mulai membangun kekuatan baru di kawasan sepanjang pesisir timur
Sumatera. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di
Semenanjung Malaya.
[25] Karena mendapat ancaman dari Siak, dan disaat yang bersamaan orang-orang
Bugis
juga meminta balas atas jasa mereka, maka Raja Sulaiman meminta bantuan
kepada Belanda di Malaka. Dalam perjanjian yang ditandatangani pada
tahun 1746 itu, Johor menjanjikan akan memberikan Bengkalis kepada
Belanda. Perjanjian itu kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan
gudang pada kawasan tersebut.
[26][27]
Sepeninggal Raja Kecil pada tahun 1746, klaim atas Johor memudar. Dan
pengantinya Sultan Mahmud berfokus kepada penguatan kedudukannya di
pesisir timur Sumatera dan daerah
vassal di
Kedah
dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan
Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan
dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang
persenjataan.
[28] Setelah Raja Mahmud wafat, muncul
dualisme
kepemimpinan di kerajaan ini. Raja Muhammad Ali yang lebih disukai
Belanda kemudian menjadi Sultan Siak. Sementara sepupunya Raja Ismail
yang tidak disukai Belanda, muncul sebagai
Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Laut Cina Selatan, dan membangun kekuatan di gugusan
Pulau Tujuh.
[29]
Sekitar tahun 1767, Raja Ismail telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil. Didukung oleh
Orang Laut, ia terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai mengontrol perdagangan
timah di
Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu
Terengganu menaklukan
Kelantan,
hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara
Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja
Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan, mulai dari Terengganu,
Jambi, dan
Palembang. Laporan Belanda menyebutkan, Palembang telah membayar 3.000
ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan. Sementara
Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.
[29]
Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur
Sumatera. Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan daerah
Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya,
[30] termasuk wilayah
Deli dan
Serdang.
[31] Di bawah ikatan perjanjian kerja sama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang dan menundukkan
Selangor.
[32] Sebelumnya mereka telah bekerja sama memadamkan pemberontakan
Raja Haji Fisabilillah di
Pulau Penyengat.